JAKARTA – Skema akuisisi PT Pertamina Gas (Pertagas) oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) dinilai lebih ditujukan untuk melindungi investasi pemegang saham publik dibanding memberi manfaat optimal bagi negara melalui aset-aset yang ada di Pertagas dan PGN. Bahkan, akuisisi tersebut tidak memberi keuntungan bagi PT Pertamina (Persero), sebagai holding BUMN migas yang notebene menjadi induk PGN.

“Kondisi sekarang tidak menguntungkan bagi investor (pemegang saham) asing di PGN, sehingga patut diduga ada “kepentingan untuk melindung,” ujar Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Jumat (29/6).

Saat ini 57% saham PGN dikuasai pemerintah melalui PT Pertamina (Persero). Sisanya, 43% dikuasai publik melalui Bursa Efek Indonesia.

Akuisisi Pertagas berpotensi berimbas positif bagi kinerja keuangan PGN yang saat ini tidak begitu bagus. Pasalnya, laba bersih PGN dalam lima tahun terakhir terus tergerus. Jika pada 2012, laba bersih masih mencapai US$891 juta, maka di akhir 2017 tinggal US$143 juta.
Disisi lain, laba bersih Pertagas dalam kurun waktu yang sama cukup stabil dan cenderung meningkat. Pada 2012, laba bersih sebesar US$122 juta dan di akhir 2017 mencapai US$141 juta.

Jika diperhatikan lebih rinci, aset PGN meningkat tinggi, yakni dari US$2,91 miliar pada 2012, menjadi US$ 6,29 miliar pada 2017. Dalam kurun waktu yang sama, aset Pertagas meningkat dari US$ 727 juta menjadi US$ 1,93 miliar. Namun, tingkat return on asset (ROA) PGN dalam lima tahun terakhir justru lebih buruk, turun dari 19% menjadi 2%. ROA Pertagas hanya turun dari 12% menjadi 7%.

Marwan menilai proses konsolidasi dilakukan dalam kondisi organisasi dan manajemen Pertamina sedang tidak optimal. Sebagai pimpinan holding yang telah memperoleh penyerahan saham (inbreng) pemerintah di PGN, mestinya Pertamina memegang peranan yang dominan dalam proses konsolidasi.

“Namun yang terjadi adalah direksi Pertamina dirombak tiga kali dalam dua tahun terakhir. Direktorat gas sebagai salah satu lini bisnis penting dan masa depan Pertamina dibubarkan. Dirut Pertagas diberhentikan,” ungkap dia.

Menurut Marwan, dengan mengakuisisi saham Pertagas, maka PGN perlu menyiapkan dana yang jumlahnya cukup besar. Jika PGN tidak mampu, maka alternatifnya adalah dengan skema penerbitan saham baru (rights issue) atau meminjam dana Pertamina melalui penerbitan obligasi. Jika skema rights issue yang ditempuh, saham Pertamina berpotensi terdilusi. Dengan skema penerbitan obligasi, maka beban keuangan Pertamina akan bertambah.

“Hal-hal ini menunjukkan bahwa skema akuisisi bukan memberi manfaat, tetapi justru menambah beban bagi Pertamina,” kata Marwan.(RI)