Salah satu rig pengeboran Chevron.

JAKARTA – Menyusul vonis Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terhadap dua kontraktor PT Chevron Pacific Indonesia pekan lalu, tiga dari sebelas rig yang dioperasikan perusahaan minyak dan gas (migas) itu terpaksa shut down (berhenti beroperasi) untuk sementara.

Corporate Communication Manager Chevron Indonesia, Dony Indrawan, tiga rig itu terpaksa shut down sejak Jumat, 10 Mei 2013, karena tidak adanya kepastian hukum dalam pelaksanaan kegiatan di sektor migas Indonesia.  

Seperti diketahui, awal pekan lalu Majelis Hakim Tipikor menjatuhkan vonis 5 tahun penjara kepada Ricksy Prematuri, dan 6 tahun penjara untuk Herlan bin Ompo. Keduanya adalah pimpinan perusahaan kontraktor Chevron dalam proyek bioremediasi, yang dituduh merugikan negara oleh Kejaksaan Agung.

Meski fakta-fakta di persidangan menunjukkan bahwa Chevron telah mengerjakan proyek bioremediasi sesuai persetujuan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) selaku regulator, serta tidak ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar dalam proyek penanganan limbah bekas minyak itu, namun Majelis Hakim seolah tak menggubris dan tetap menjatuhkan vonis bersalah bagi Ricksy dan Herlan.

Pada Senin, 13 Mei 2013 awak media mendapat kabar, tiga dari total sebelas rig yang dioperasikan Chevron, sejak Jumat, 10 Mei 2013 akhir pekan lalu terpaksa shut down untuk sementara. Sumber di Chevron menyebutkan, shut down terjadi karena para pekerja yang mengoperasikan tiga rig itu ragu-ragu, apakah yang mereka kerjakan di lapangan sudah sesuai aturan atau belum.

Hal ini mengingat beberapa mitra kerja mereka baru saja divonis bersalah oleh hakim dalam kasus bioremediasi, meski proyek itu sudah mendapat persetujuan dari pemerintah dalam hal ini KLH dan SKK Migas. “Kalau kondisinya tidak berubah, bukan tidak mungkin delapan rig lainnya yang saat ini masih beroperasi, dalam beberapa hari ke depan ikut shut down juga,” ungkap sumber tersebut.

Dikonfirmasi terkait hal ini, Dony Indrawan awalnya tidak mau banyak berkomentar. Namun setelah didesak, ia akhirnya tak menampik bahwa tiga rig itu shut down, akibat tidak jelasnya siapa pihak yang berwenang menyatakan sebuah proyek migas sudah berjalan sesuai aturan atau tidak.

Regulator Dipertanyakan

Menurut Dony, selama ini Chevron berpegang pada Undang-Undang (UU) Migas Nomor 22 Tahun 2001 dan Production Sharing Contract (PSC) migas dalam operasinya di Indonesia. Dalam proyek bioremediasi Chevron berpegang pada Keputusan Menteri (Kepmen) LH Nomor 128 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 1999. Kemudian dalam proses pengadaan Chevron mengacu PTK 007 yang diterbitkan BP Migas (sekarang SKK Migas, red).  

“Namun meski Chevron dan karyawan serta mitra kerja atau kontraktornya sudah mematuhi semua aturan itu, tetap saja dituduh bersalah oleh aparat penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan Agung dan Majelis Hakim Tipikor Jakarta yang diketuai Hakim Sudhamawatiningsih,” ujar Dony di Jakarta, Senin siang, 13 Mei 2013.

Dony menambahkan, Chevron dan karyawan serta kontraktornya juga sudah bekerja sesuai persetujuan KLH maupun SKK Migas. Dalam persidangan KLH serta SKK Migas juga sudah tegas menyatakan proyek bioremediasi tidak melanggar hukum. Namun tetap saja dua kontraktor Chevron yang hanya menjalankan order divonis bersalah oleh Majelis Hakim.

“Jadi dalam bekerja, kami harus tunduk pada regulator yang mana? Siapa yang berwenang menegakkan peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan program lingkungan, khususnya proyek bioremediasi? Apakah regulatornya masih KLH? Lalu bagaimana dengan PSC, apakah SKK Migas masih menjadi regulator?,” tandasnya.

Tak Bisa Bersihkan Limbah

Shut down-nya tiga rig Chevron saat ini, kata Dony, karena bekas-bekas limbah minyak dari pengeboran yang sudah dilakukan, tidak bisa dibersihkan. Selama ini limbah minyak yang terciprat di tanah sekitar rig itu, dibersihkan dengan teknologi bioremediasi. Namun itu sementara tidak bisa dilakukan, karena proyek bioremediasi divonis bersalah oleh majelis hakim.

“Kalau tidak dibersihkan, maka limbah minyak yang terciprat dari kegiatan pemboran itu akan terus bertambah banyak. Jika diteruskan, maka Chevron bisa terjerat pelanggaran Undang-Undang Lingkungan Hidup yang sanksinya sudah jelas, pidana,” tandasnya.

Begitupun dengan delapan rig lainnya yang masih beroperasi. Dalam beberapa hari ke depan tentu akan semakin banyak cipratan limbah minyak di tanah sekitarnya. Belum lagi ceceran limbah minyak akibat aktivitas pengolahan minyak mentah hasil pemboran. Untuk menghindari itu, sepanjang belum jelas kepastian hukumnya maka ceceran limbah minyak itu belum bisa dibersihkan, dan pengolahan dihentikan pula sementara. 

Kalau pengolahan berhenti sementara, pengeboran tentu tidak bisa dilanjutkan terus, karena minyak mentah yang dihasilkan terus bertambah sementara pengolahan stop. Sehingga tidak menutup kemungkinan, delapan rig yang masih beroperasi akan shut down juga dalam beberapa hari ke depan. Jika ini terjadi, maka pemerintah harus siap-siap produksi minyak 2013 anjlok sangat dalam, mengingat produksi Chevron hingga saat ini mencapai 40% dari total produksi nasional. 

Dony mengaku, sebelas rig yang dioperasikan Chevron itu digunakan baik untuk pemboran work over maupun pemboran baru dan eksplorasi. Untuk memenuhi target produksi yang sudah ditetapkan dalam Work Program and Budget (WP&B) 2013, Chevron tahun ini menargetkan 600 pemboran baik untuk meningkatkan produksi maupun memperoleh cadangan baru migas. Dengan kondisi tersebut, sangat mungkin target itu sulit untuk dicapai.          

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)