JAKARTA – Upaya pemerintah untuk meningkatkan investasi di sektor hulu migas dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang biaya operasi yang bisa dikembalikan (cost recovery) dan pajak hulu migas dinilai belum cukup.

Komaidi Notonegoro, pengamat energi dari Reforminer Institute, mengatakan revisi beleid yang diusung pemerintah kurang memiliki dasar kuat, sehingga wajar jika masih terdapat keraguan para pelaku usaha mengenai masa depan investasi mereka.
“Dari yang disampaikan dalam revisi PP No 79 Tahun 2010 tidak ada yang baru, karena akar masalahnya ada di revisi UU migas,” ujar Komaidi kepada Dunia Energi, Senin (3/10).

Kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sebelumnya mengeluhkan adanya ketidakjelasan terkait mekanisme penerapan revisi aturan PP 79. Pasalnya, saat ini masih ada kontrak existing yang sudah terlanjur ditandatangani pada 2001 setelah UU Migas diterbitkan dan sebelum pemberlakuan PP 79 Tahun 2010 masih menganut prinsip assume and discharge.

Disisi lain, lanjut Komaidi, selama ini pelaku usaha hulu migas cenderung mau jalan singkat. Padahal keputusan yang diambil secara terburu-buru tidak akan menghasilkan aturan yang maksimal. “Karena tidak mungkin semua permintaan diakomodasi dalam PP tersebut,” kata dia.
Menurut Komaidi, permintaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dari sisi fiskal bukanlah domain dari aturan tentang migas dalam hal ini Undang-Undang Migas, melainkan sebagai pelaksana dari UU pajak penghasilan. Karena itu pembahasannya pasti memerlukan waktu.
“PP itu aturan pelaksana dari PPh, sementara aspek fiskal yang diminta kan tidak hanya PPh. Pelaku usaha perlu lebih logis melihat ini,” tandas dia.(RI)