JAKARTA – PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, makin agresif melakukan ekspansi untuk mendapat ladang-ladang minyak di luar negeri sebagai upaya mengamankan pasokan bagi kebutuhan kilang-kilang perseroan di masa datang. Selain dua proyek pembangunan kilang baru, yakni kilang Tuban dan Bontang, Pertamina juga menggarap proyek revitalisasi (refinery development master plan/RDMP) empat kilang, Balikpapan, Cilacap, Balongan dan Dumai. Proyek kilang yang membutuhkan investasi hingga US$36,79 miliar ditargetkan tuntas pada 2023.

Dirgo Purbo, pengamat ketahanan energi dan staf pengajar geoekonomi Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), mengatakan biaya pembangunan kilang tidak bisa diliat hanya satu aspek saja fisik, tapi juga harus memasukan biaya sumber ladang minyaknya.

“Artinya membangun kilang harus mendapat guarantee supply minyak minimal delapan tahun,” katanya di Jakarta.

Setelah tuntasnya proyek-proyek kilang, kebutuhan minyak mentah Pertamina akan meningkat signifikan seiring bertambahnya kapasitas kilang. Untuk dua kilang baru saja, Pertamina akan memiliki kapasitas produksi 600 ribu barel per hari (bph). Selain itu ada tambahan 415 ribu barel per hari (bph) untuk kilang-kilang yang telah direvitalisasi.

Salah satu upaya yang dilakukan Pertamina untuk memastikan pasokan minyak mentah untuk kilang adalah ekspansi pengelolaan ladang migas di luar negeri. Saat ini Pertamina fokus untuk bisa mendapat hak pengelolaan dua ladang minyak dan gas, Ab-Teymoura dan Mansouri di Iran.

Perseroan menargetkan awal tahun depan sudah ada tindak lanjut terkait rencana tersebut. “Februari kami masukkan proposal, kemudian yang diminta mereka adalah Pertamina harus bisa menunjukkan kemampuan technical, dan finansialnya menarik,” kata Syamsu Alam, Direktur Hulu Pertamina.

Jika proposal diterima Pertamina menargetkan bisa menjadi operator di dua blok yang memiliki jumlah total cadangan sekitar 3 miliar barel tersebut. Skema kerja sama yang diusung nantinya berupa service contractsehingga Pertamina akan mendapatkan bagian dari minyak dan gas yang diproduksi. “Kami bisa dapatentitlement-nya. Seperti di Irak juga kan service contract, per barel dapatnya sekian,” ungkap Syamsu.

Firlie Ganinduto, Ketua Komite Tetap Hulu Minyak dan Gas, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, mengatakan proyek kilang-kilang besar positif untuk memenuhi ketahanan energi nasional. “Namun harus dicermati juga bahwa Indonesia akan menjadi negara importir crude oil lebih besar,” kata dia.

Menurut Dirgo, Pertamina harus memiliki tim intelijen petroleum untuk mencari sumber minyak yang dapat memasok minyak mentah minimal delapan tahun dengan kapasitas volume yang konstan.

Arab Saudi dan Iran, lanjut dia, merupakan dua negara yang masih bisa diajak kerja sama untuk mendapatkan alokasi impor minyak guna memenuhi kebutuhan kilang jangka panjang. “Persoalan yang mendasar itu harus dapat jaminan pasokan terlebih dahulu. Jadi nanti mendapatkan minyaknya tidak berdasarkan spot charter basis, tapi jaminan pasokan jangka panjang. Kalau ini sudah ada saya rasa tidak ada lagi resistensi,” katanya.

Dirgo menambahkan untuk merealisasikan proyek-proyek kilang, pemerintah bisa memberikan dukungan antara lain dengan memberikan pembebasan pajak penghasilan dalam periode tertentu (tax holiday) dan melakukan oil diplomacy di negara-negara yang mempunyai kapasitas ekstra. “Selain itu, membentuk tim petroleum intelligent agar Pertamina dapat melakukan strategi farm in yang tepat,” kata dia.

Menurut Dirgo, pembiayaan pembangunan kilang tidak akan menjadi masalah bagi Pertamina, karena bisa dilakukan melalui pihak ketiga yang tentunya mendapat back up dari pemerintah. “Sumber pembiayaan bisa dari mana saja yang penting harus lebih berpihak kepada kepentingan nasional,” tegas dia.(RA/RI)