JAKARTA – Pemerintah resmi mengatur pola harga patokan tertinggi dan mekanisme pengadaan pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan pembelian kelebihan tenaga listrik (excess power). Hal ini seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Batubara untuk Pembangkit Listrik dan Pembelian Kelebihan Tenaga Listrik (Excess Power).

“Permen tersebut diharapkan dapat menjaga Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Pembangkitan Tenaga Listrik setempat agar lebih efektif dan efisien, sehingga tarif tenaga listrik dapat lebih kompetitif,” ujar Jarman, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM di Jakarta, Jumat (3/3).

Selain mengatur mengenai acuan Harga Pembelian Listrik di PLTU Mulut Tambang dan Non Mulut Tambang, permen tersebut juga mengatur pola Harga Patokan Tertinggi (HPT) dalam pengadaan pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan kelebihan tenaga listrik (excess power).

Penggunaan excess power untuk memperkuat sistem kelistrikan setempat dapat dilakukan apabila pasokan daya kurang atau untuk menurunkan BPP Pembangkit di sistem ketenagalistrikan setempat.

Harga pembelian kelebihan tenaga listrik (excess power) paling tinggi sebesar 90 persen (sembilan puluh persen) dari BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat. Sehingga dapat meningkatkan peran captive power dalam menjaga ketersediaan daya listrik pada sistem ketenagalistrikan setempat.

Jarman juga mensosialisasikan Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2017 tentang Kebijakan Operasi Paralel Pembangkit Tenaga Listrik dengan Jaringan Tenaga Listrik PT PLN (Persero). Peraturan ini diterbitkan untuk mengatur konsumen listrik (biasanya industri) yang memiliki dan mengoperasikan pembangkit sendiri dalam rangka menjaga operasionalnya melalui interkoneksi (operasi paralel) dengan sistem PLN.

“Selama ini pengenaan biaya paralel yang diatur oleh PLN dirasakan masih terlalu tinggi oleh konsumen yang melakukan operasi paralel. Dengan adanya Permen 1/2017 ini, biaya untuk operasi paralel khususnya biaya kapasitas, dapat diturunkan sekitar 25 persen-30 persen setiap bulannya,” ungkap dia.

Menurut Jarman, efisiensi biaya diperoleh dengan penggunaan daya mampu netto pembangkit (MW) sebagai basis perhitungan pada formula saat ini, dibandingkan penggunaan kapasitas daya terpasang (MVA) pada formula sebelumnya.

Operasi paralel pembangkit dapat dilakukan sebagai cadangan (back-up) dan/atau tambahan (suplemen) untuk operasional pembangkit sendiri yang disambungkan pada jaringan PLN.

Peraturan ini juga mengatur mekanisme operasi paralel, yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan kemampuan kapasitas sistem PT PLN setempat dan mengacu pada grid code atau distribution code sebagai pembangkit listrik.

“Untuk mendukung pelaksanaan operasi paralel, PLN wajib menyusun petunjuk teknis dan standar perjanjian untuk operasi paralel dan menyampaikan laporan pelaksanaannya secara berkala kepada dirjen ketenagalistrikan,” tandas Jarman.(RA)

Permen 19/2017 mengatur acuan harga pembelian listrik PLTU Mulut Tambang, yaitu :

  1. Jika BPP Pembangkitan setempat lebih rendah dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada 75 persen BPP Pembangkitan setempat.
  2. Jika BPP Pembangkitan setempat lebih tinggi dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada 75 persen BPP Pembangkitan nasional.
  3. Harga pembelian tenaga listrik ditetapkan dengan asumsi faktor kapasitas pembangkit sebesar 80 persen.

Selain itu, juga diatur harga pembelian listrik PLTU Non Mulut Tambang dengan kapasitas > 100 MW yaitu:

  1. Jika BPP Pembangkitan setempat lebih rendah dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada BPP Pembangkitan setempat.
  2. Jika BPP Pembangkitan setempat lebih tinggi dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada BPP Pembangkitan nasional.

Untuk harga pembelian listrik non mulut tambang untuk kapasitas ≤ 100 MW, diatur sebagai berikut:

  1. Jika BPP Pembangkitan setempat lebih rendah dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada BPP Pembangkitan setempat.
  2. Jika BPP Pembangkitan setempat lebih tinggi dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga berdasarkan lelang atau mekanisme business to business.