sampe dan sammy

Kepala Divisi Pertimbangan Hukum BPMIGAS, Sampe L Purba (kiri) bersama Wakil Presiden IPA, Sammy Hamzah saat menjadi pembicara dalam FGD Revisi UU Migas yang digelar E2S pada Rabu, 3 Oktober 2012 di Jakarta.

Langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) diharapkan mampu memberikan kepastian hukum terhadap investasi migas di Tanah Air. Ini merupakan syarat utama agar amandemen UU yang dilakukan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bukan sebaliknya membuat investasi sektor migas makin merosot.

Hal ini terungkap dalam Focuss Group Discussion (FGD) bertema “Revisi UU Migas Untuk Kesejahteraan Rakyat” yang digelar Energy and Mining Editor Society (E2S) di Jakarta, Rabu, 3 Oktober 2012. Hadir sebagai pembicara dalam FGD tersebut, Kepala Divisi Pertimbangan Hukum Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) Sampe L Purba, dan Wakil Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah.

Dalam diskusi tersebut Sammy Hamzah mengungkapkan, problem utama investasi migas di Indonesia adalah kepastian hukum. Ia mengaku tidak terlalu optimis revisi UU Migas akan dapat memperbaiki iklim investasi migas yang sedang lesu sekarang ini. Bahkan sebaliknya, dari analisa statistik yang dilakukan IPA menunjukkan, setiap kali terjadi pergantian UU, investasi di sektor migas cenderung menurun. Karena pergantian regulasi di Indonesia kerap menimbulkan ketidakpastian baru dalam dunia usaha.

“Kami di IPA telah membuat analisa statistik yang menunjukkan bahwa ketika UU Migas 22/2001 terbit, investasi migas merosot luar biasa. Ini bisa dilihat dari menurunnya angka eksplorasi. Iklim investasi dan eksplorasi naik kembali pada 2005, setelah hadirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 tahun 2004 yang merupakan regulasi teknis pelaksanaan UU Migas,” jelas Sammy.

Maka dari itu, Sammy yang juga menjabat Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Hulu Migas Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia mewanti-wanti, jangan sampai revisi UU Migas yang kini diusung DPR, menimbulkan ketidakpastian baru, yang akan membawa investasi migas di Indonesia kembali merosot, dan butuh waktu lama untuk memulihkannya. Jika investasi migas menurun, harapan sektor migas dapat meningkatkan kesejahterakan rakyat tentu sulit dicapai.

Sayangnya, kata Sammy, dalam beberapa kali dengar pendapat kalangan dunia usaha dengan DPR seputar revisi UU Migas, tidak tercermin adanya upaya agar revisi yang dilalukan dapat mengatasi problem ketidakpastian hukum. Para anggota DPR justru mencecar pelaku usaha migas tentang tingginya cost recovery (biaya produksi yang dapat diganti oleh pemerintah) yang dianggap merugikan keuangan negara.

Padahal sudah dijelaskan berkali-kali bahwa pembayaran cost recovery migas, tidak menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia menjelaskan, cost recovery selama ini dibayar menggunakan minyak dan gas yang diproduksi Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) Migas.

Biaya produksi itu pun hanya bisa diganti, jika terbukti wilayah kerja migas yang dikelola KKKS dapat menghasilkan. Jika tidak berhasil memproduksi, sama sekali tidak akan diganti. Contohnya perusahaan migas Marathon yang baru-baru ini gulung tikar, karena investasi pemborannya di laut dalam tidak berhasil menemukan cadangan migas yang potensial untuk diproduksi.

“Sayangnya, hal ini seolah tidak pernah menjadi pertimbangan para pembuat UU dan kalangan yang mempersoalkan cost recovery. Saat ini, hampir 90% problem KKKS Migas yang merupakan anggota IPA adalah cost recovery. Mereka tidak bisa melakukan kegiatan operasi secara maksimal, karena cost recovery terus dibatasi. Akibatnya produksi migas Indonesia selalu sulit mencapai target,” tandasnya.

Terkait wacana agar sistem cost recovery diganti dengan sistem royalti seperti pada rezim mineral dan batubara (minerba), menurut Sammy sah-sah saja karena hal itu juga dimungkinkan dalam UU Migas. Namun sebelum melangkah ke sana, harus dipikirkan dulu untung dan ruginya.

Sammy mengingatkan, dengan sistem royalti biaya produksi yang dikeluarkan kontraktor (pada pertambangan mineral dan batubara) tidak ada yang mengontrol. Padahal faktor biaya mengurangi laba yang menjadi dasar penghitungan setoran perusahaan ke pemerintah, terutama dari pajak.

“Faktanya, setoran migas untuk penerimaan negara mencapai USD 24 – 25 miliar per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan penerimaan dari migas sebesar USD 5 miliar per tahun,” ungkap Sammy.

Pada kesempatan yang sama, Sampe L Purba mengaku tidak setuju jika sistem cost recovery diganti menjadi sistem royalti. Karena pada sistem royalti seperti yang diberlakukan pada rezim minerba, tidak ada pihak yang mengontrol penggunaan biaya. Pelaku usaha berwenang penuh mengeluarkan biaya, dan hanya cukup melaporkan penerimaannya saja.

Sementara pada sistem cost recovery, setiap sen yang dikeluarkan KKKS Migas selalu dikontrol oleh BPMIGAS. Selain mengefisienkan biaya dan meningkatkan penerimaan, kontrol pada cost recovery juga berfungsi mendorong penggunaan local content atau yang dalam industri migas dikenal dengan Total Komponen Dalam Negeri (TKDN).

anjungan conoco

Anjungan pemboran lepas pantai (offshore) salah satu KKKS Migas.

Kesejahteraan Bukan Semata Penerimaan

Lebih jauh Sampe menjelaskan, sektor migas Indonesia saat ini telah mengalami perubahan paradigma. Bukan hanya sebagai sumber penerimaan negara dari ekspor minyak dan gas bumi, lebih dari itu harus menjadi roda penggerak perekonomian nasional.

“Jadi kalau kita bicara kesejahteraan rakyat, tidak melulu tentang besaran penerimaan pemerintah. Tetapi bagaimana industri migas ini dapat mendongrak perekonomian nasional, lewat pembelanjaan TKDN,” paparnya.

Menurutnya, BPMIGAS sendiri bukanlah pihak yang berwenang mengusulkan substansi revisi UU Migas. Namun karena posisinya sebagai badan yang ditugaskan pemerintah untuk berkontrak dengan KKKS Migas, maka BPMIGAS memandang perlu memberikan catatan terkait kondisi sektor migas Indonesia saat ini. Ia mengaku setuju dengan Sammy bahwa kunci peningkatan investasi migas dan kesejahteraan rakyat adalah kepastian hukum.

Sampe memaparkan bahwa sektor migas merupakan industri yang memiliki karakteristik khusus. Yakni membutuhkan modal yang besar, berisiko tinggi, investasinya jangka panjang (long therm investment horizon), membutuhkan teknologi tinggi, lintas kedaulatan negara, dan terdapat kompetisi yang tinggi antar kawasan. “Dalam kondisi seperti ini, investor tentu tidak akan mau menanamkan modalnya, jika tidak ada kepastian hukum,” tegasnya.

Dengan kompetisi yang tinggi antar kawasan, jika investor migas memandang menanamkan modal di Indonesia terlalu berisiko karena tidak adanya kepastian hukum, maka dia tinggal angkat kaki untuk berinvestasi di negara lain yang lebih memberikan kepastian hukum. Jika tidak ada investasi di Indonesia, maka tidak mungkin diharapkan sektor migas dapat memberikan kontribusi pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

BPMIGAS sendiri telah merumuskan lima pilar penting dalam revisi UU Migas. Pertama, perbaikan sistem tata kelola (governance) industri migas di Indonesia, dalam bentuk penguatan kelembagaan dan memperjelas posisi serta peran masing-masing stakeholder. Kedua, meningkatkan penerimaan dan partisipasi daerah dalam kegiatan hulu migas.

Ketiga, pengaturan kekhususan industri hulu migas (lex specialist) untuk rezim fiskal, perizinan, dan memperlakukan fasilitas migas sebagai objek vital nasional. Keempat, mengedepankan peran perusahaan migas milik negara dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, lewat pemberian wilayah kerja baru maupun melanjutkan wilayah kerja migas yang habis masa kontraknya.

Pilar kelima, kata Sampe, adalah perlunya pengaturan Petroleum Fund. Terkait Petroleum Fund, menurut Sampe sangat penting untuk memperbaiki data-data geologi migas. Yakni menyisihkan sebagian dana dari penerimaan migas, untuk eksplorasi lebih detail dan menghasilkan data yang lengkap tentang cadangan migas di Tanah Air.

“Ini penting karena ‘kelanjutan hidup’ investor migas tergantung sejauh mana ia mendapatkan cadangan yang potensial. Dengan data yang lebih baik, Indonesia akan lebih menarik bagi investasi migas,” tukasnya.

Toh demikian, Sammy menekankan yang terpenting tetap kepastian hukum. Menurutnya, selain yang dimiliki pemerintah, data-data geologi migas Indonesia sudah banyak yang menyebar di luar negeri. Investor sudah cukup mempunyai data tentang potensi migas Indonesia.

Namun sebaik apa pun potensi dan data yang dimiliki, jika dalam menjalankan usahanya investor selalu terhambat oleh kepastian hukum, maka tetap tidak akan menarik orang untuk menanamkan modalnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)