JAKARTA – Pakar minyak dan gas bumi (migas) Dr Abdul Muin menyesalkan penanganan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia oleh Kejaksaan Agung, yang mengakibatkan sejumlah karyawan perusahaan itu ditahan. Padahal persoalan itu sebenarnya cukup diselesaikan secara perdata.

Abdul Muin menjelaskan, operasi migas di Indonesia berlangsung dibawah naungan Production Sharing Contract (PSC) atau Kontrak Bagi Hasil.  Maka dari itu, jika ada persoalan yang timbul dalam pelaksanaan PSC oleh Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) Migas, penyelesaiannya cukup melalui jalur perdata yang didahului dengan audit lembaga berwenang.

Berbicara dalam Focuss Group Discussion (FGD) tentang  “Kepastian Hukum dan Pengaruhnya Terhadap Investasi di Sektor Migas” pada Rabu, 7 November 2012 di Jakarta, mantan wakil Indonesia di OPEC ini menyebutkan, dalam pelaksanan sistem PSC sesuai Undang-Undang 22 tahun 2001, telah dibentuk Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) sebagai pihak yang mewakili pemerintah berkontrak dengan perusahaan migas.

Dari situ, lanjutnya, BPMIGAS mempunyai dua fungsi utama. Pertama, sebagai partner atau mitra kerja KKKS. Kedua, sebagai badan yang bertugas mengamankan bagian pemerintah atas sumber daya alam migas yang diproduksikan. Fungsi lainnya, ialah memastikan kegiatan operasi migas seluruh KKKS berlangsung lancar, seperti turut mengatasi hambatan-hambatan yang muncul di lapangan, mencegah delay dalam produksi maupun eksplorasi, dan sebagainya.

“Maka dari itu, saat saya masih menjabat Wakil Kepala BPMIGAS, saya berusaha teliti dalam memeriksa pengajuan POD (Plan of Development) dari KKKS. Kalau ada yang janggal, langsung saya konfirmasikan dan mintakan klarifikasi kepada KKKS yang bersangkutan,” tutur Abdul Muin yang menjabat Wakil Kepala BPMIGAS sepanjang 2007 – 2009.

Ia mencontohkan suatu persoalan yang pernah ditanganinya saat masih menjabat. Ada sebuah proyek pengembangan lapangan migas, yang berdasarkan audit BPMIGAS memperoleh kelebihan dalam pembayaran cost recovery (biaya produksi yang bisa diganti oleh pemerintah). Ia langsung melakukan klarifikasi kepada KKKS yang bersangkutan, dengan saling membandingkan angka hasil audit dan angka yang dimiliki KKKS.

Hasilnya, KKKS yang bersangkutan mengakui ada kelebihan cost recovery, dan bersedia mengembalikan dana yang sudah dibayarkan. “Saat itu terjadi pengembalian ke pemerintah sebesar 14,859 juta barel. Prinsip cost recovery, selama masih dalam operasi migas yang dinaungi PSC, kalau ada kelebihan maka pengembalian itu tidak masalah. Persoalan selesai sampai di situ,” ungkapnya.

Maka dari itu, Abdul Muin mengaku heran dengan Kejaksaan Agung, yang tiba-tiba menyidik proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia, dan menyeretnya menjadi kasus pidana. Padahal kalau ada dugaan kerugian negara dalam proyek tersebut, cukup diselesaikan melalui audit yang dilakukan BPMIGAS. Jika terbukti ada ketidakwajaran dalam biaya, BPMIGAS tinggal meminta KKKS yang bersangkutan mengembalikan, seandainya cost recovery-nya sudah dibayar.

“Kalau kurang yakin dengan audit BPMIGAS, silahkan minta audit kepada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) atau BPKP ( Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan). Kalau ada potensi merugikan keuangan negara, kembalikan dananya. Cukup lewat BPMIGAS atau jalur perdata,” tandasnya.

Menurutnya, selama ini persoalan perbedaan angka antara KKKS dan BPMIGAS hanya persoalan administratif. Karena KKKS sendiri, terutama perusahaan migas yang ternama, akan selalu berupaya menjaga kredibilitasnya. Begitu pula misalnya, ketika ada oknum karyawan KKKS yang diduga berbuat curang, menurutnya cukup Presiden Direkturnya yang ditegur oleh BPMIGAS.

“Tidak perlu sampai ada penahanan dan sebagainya, yang justru membuat praktisi migas tidak leluasa mengambil keputusan di lapangan. Sejauh pengalaman saya, ketika ada teguran dari BPMIGAS, tidak lama jajaran pimpinan KKKS yang bersangkutan langsung action, dan persoalan selesai,” tukasnya.

Pakar migas Dr Abdul Muin (tengah) bersama Kadiv Humas, Sekuriti dan Formalitas BPMIGAS, Hadi Prasetyo (kiri) dan Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Dipnala Tamzil, saat menjadi pembicara dalam FGD Kepastian Hukum di Sektor Migas, Rabu, 7 November 2012.

Dibutuhkan Harmonisasi

Pada kesempatan yang sama, Kepala Divisi Humas, Sekuriti dan Formalitas BPMIGAS, Hadi Prasetyo mengakui, berbagai ketidakpastian hukum yang terjadi di sektor migas telah menghambat kinerja sektor penyumbang terbesar penerimaan negara itu.

Dari pengalamannya mengatasi berbagai persoalan di sektor migas, terlihat bahwa untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut , yang dibutuhkan bukan sekedar sinergi. “Lebih dari itu, yang kita butuhkan adalah koordinasi dan harmonisasi,” terangnya.

Hadi berharap, ke depan semua pihak yang terkait dengan sektor migas, menggunakan standar yang sama dalam mengurai setiap persoalan. Baik itu perizinan, pembebasan lahan, maupun kasus-kasus lain termasuk dalam kasus bioremediasi. Sampai saat ini, masih sering terjadi misalnya, untuk pengaturan suatu hal, antara peraturan pemerintah dan peraturan daerah berbeda. Hal seperti ini ke depan harus terus diminimalisir.

“Pikiran kita harus sama, standar kita adalah PSC. Maka dari itu, ke depan antar instansi pemerintah harus dilakukan harmonisasi, agar satu instansi dan instansi lainnya tidak melakukan interpretasi (penafsiran) sendiri-sendiri,” tambahnya.

Ia menerangkan, dibawah naungan PSC, kegiatan hulu migas Indonesia tidak pernah mengambil sepeser pun uang dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Operasi hulu migas seluruhnya dibiayai oleh hasil pengelolaan sumber daya alam itu sendiri, yang dikenal dengan cost recovery.

“Itu pun bisa dibayarkan kalau KKKS sudah berproduksi atau sudah menghasilkan. Kalau ternyata lapangan yang digarap tidak menghasilkan, biaya yang dikeluarkan KKKS sama sekali tidak diganti,” jelas Hadi.

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)