JAKARTA – Pelaksanaan pencampuran bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dengam bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel sebesar 20% (B20) dinilai akan masih menemui sejumlah kendala.

Immanuel Sutarto, Komisaris PT Eterindo Wahanatama Tbk  (ETWA), mengatakan kendala yang dihadapi produsen biodiesel cenderung pada ketersediaan modal.

Secara umum saat ini lebih baik. Policy mandatory B20 bisa jalan karena didukung harga indeks pasar (HIP), yakni harga CPO+$128 +biaya transportasi. Selisih harga HIP dengan solar dibayar dari dana pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO).

“Hambatan hanya kemampuan modal kerja dari masing-masing produsen biodiesel,” kata Immanuel yang juga menjadi Advisor Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) kepada Dunia Energi, Senin (2/5).

Lebih lanjut dia menerangkan BBN jenis biodiesel dapat mengurangi polusi udara di samping menjadi solusi untuk mengatasi ketersediaan cadangan BBM yang kian menipis.

“Kita sudah tes biodiesel bisa dipakai B50 untuk mobil, truk, forklift tidak ada masalah. Yang tidak bisa adalah garansi seperti euro standar B7. Tetapi, harus dilihat cost dan benefit. Dari calorific value biodiesel lebih rendah, tetapi efek polusi lebih baik serta biaya maintenance mesin lebih rendah,” ungkap Immanuel.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat produksi biodiesel kuartal I 2016 mencapai 884.000 kiloliter (KL) atau 13,6% dari target sepanjang tahun ini sebesar 6, 48 juta KL. Realisasi penyaluran bisa pada tiga bulan pertama tahun ini juga diperkirakan menghemat devisa hingga Rp28,5 triliun.(RA)