JAKARTA– PT Adaro Energy Tbk (ADRO), emiten energi terintegrasi, mencatatkan total penjualan batubara sepanjang kuartal I 2018 sebanyak 10,93 juta metrik ton, turun 9% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar 12,03 juta metrik ton. Sebanyak 22% atau 2,4 juta metrik ton adalah penjualan domestik dan sisanya adalah ekspor.

Jepang berada di peringkat pertama tujuan ekspor batubara Adaro, yaitu sebear 1,64 juta ton atau sekitar 15%. Menyusul Korea Selatan dan China masing-masing 12% atau 1,31 juta ton serta Malaysia dan India sebear 1% atau 1,2 juta ton dan 983.700 ton.

Di luar itu, ekspor batubara Adaro juga dikirimkan ke Hongkong sebesar 7% atau 765.100 ton serta Taiwan dan Spanyol masing-masing 3% atau 327.900 ton.

Ekspor batubara juga masing-masing 2% dialokasikan ke Filipina dan Thailand sebesar 218.600 dan lainnya, yaitu empat negara: Amerika Serikat, Vietnam, Singapura, dan Belanda, total 2%.

Garibaldi Tohir, Direktur Utama Adaro Energy, mengatakan kontribusi penjualan batubara terbesar berasal dari PT Adaro Indonesia, anak usaha Adaro Energy, sebesar 10,66 juta ton, turun 8% dibandingkan periode sama tahun lalu.

“Kendati cuaca buruk mempengaruhi operasi, Adaro Energy mempertahankan komitmen sebagai pemasok yang andal bagi para pelanggan dengan memperkuat kendali dan pemantauan terhadap operasi tambang,” ujar Garibaldi.

Pada awal kuartal I 2018, musim dingin yang lebih dingin daripada biasanya meningkatkan permintaan untuk penggunaan pemanas dan dengan demikian meningkatkan permintaan batubara di banyak negara, termasuk negara Inggris – yang telah terus mencoba mengurangi proporsi batubara dalam bauran energinya serta menutup pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), dan China.

Garibldi Tohir, Direktur Utama Adaro Energy. (Foto: Dokumentasi Adaro)

Produksi PLTU China meningkat karena cuaca musim dingin yang lebih keras dan kelangkaan gas sehingga menciptakan pasar batubara yang lebih ketat di negara tersebut. Perusahaan utilitas juga kesulitan untuk meningkatkan persediaan batubara sekitar libur tahun baru China.

Karena itu, Pemerintah China mengendurkan kendali terhadap produksi batubara sehingga impor batubara ke China naik dalam periode ini. Diperkirakan setelah permintaan untuk pemanas berkurang dan pasokan meningkat, harga batubara akan terkoreksi. Cuaca dingin mendukung harga batubara tetap tinggi pada kuartal ini dan harga batubara global Newcastle mencapai rata-rata US$ 102,41 per ton pada kuartal I18.

Di sisi lain, India mengalami kelangkaan batubara domestik sehingga menghentikan operasi PLTU sampai 12 gigawatt, sebagian besar di bagian barat negara tersebut. Logistik tetap menjadi tantangan utama bagi perusahaan utilitas India karena sarana transportasi kereta api kesulitan untuk memenuhi permintaan batubara.

Karena tingginya harga batubara, pada Maret 2018, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menetapkan batas atas harga batubara domestik acuan untuk penggunaan pembangkit listrik pada US$$70 per ton dengan tujuan untuk mengendalikan tarif listrik sampai Desember 2019. Indonesia tahun ini berencana meningkatkan konsumsi batubara domestik, dan pada kuartal I 2018 saja mengkonsumsi sekitar 20,4 juta ton. (DR)