JAKARTA – Rencana pemerintah untuk mencabut subsidi listrik pelanggan 900 VoltAmpere pada pertengahan tahun ini dinilai tidak tepat, karena bertepatan dengan puasa, lebaran dan libur panjang. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, mengatakan pencabutan subsidi 900 VA perlu dikaji secara cermat dan hati-hati mengingat kondisi ekonomi pelanggan listrik 900 VA.

“Walaupun sebagian besar mereka bukan orang miskin, tapi tingkat ekonomi dan pendapatan rumah tangganya terbatas,” kata dia, Selasa (12/4).

Menurut Fabby, akan ada dampak serius terhadap pengeluaran dengan pencabutan subsidi listrik. Untuk itu, pemerintah perlu lebih mempersiapkan rencana dan idealnya dilaksanakan pada 2017.

Sekitar 18 juta pelanggan dari 22 juta pelanggan  900 VA akan dikenakan tarif baru sebesar Rp1.400 per kWh mulai Juni-Juli 2016. Saat ini tarif untuk golongan R1 900VA sebesar Rp565 per kWh, sehingga dengan tarif baru, pelanggan akan mengalami kenaikan tarif hingga 140%.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif, Reforminer Institute, mengatakan dari aspek biaya pengadaan, saat ini merupakan momentum yang pas untuk mengurangi, bahkan mencabut subsidi energi. “Apalagi karena harga minyak dangan saat ini sedang diposisi yang rendah”,” ujar dia.

Namun pemerintah, lanjut Komaidi, tidak gegabah dan harus memperhatikan kondisi daya beli masyarakat saat ini. Rencana pemerintah untuk mencabut subsidi listrik 900 VA harus ditunda. Pasalnya waktunya sangat tidak pas karena bertepatan dengan bulan puasa dan lebaran, di mana biasanya harga-harga kebutuhan mengalami kenaikan.

“Saya kira perlu ditahan, karena mendekati momentum puasa dan lebaran. Harga BBM turun saja harga-harga kebutuhan juga masih tinggi,” tandasnya.

Pemerintah menetapkan subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar Rp38,3 triliun. Pelanggan 900 VA disasar karena merupakan pelanggan dengan jumlah terbanyak kedua yakni 22.858.323 pelanggan dan tidak masuk kategori miskin dan layak mendapat subsidi. Kriteria pelanggan yang berhak menerima subsidi listrik dan yang tidak berhak didasarkan pada data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan  Kemiskinan (TNP2K). Keputusan penggunaan data masyarakat miskin dari TNP2K dan bukan berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI) maupun Bappenas dan disepakati dalam Rapat Kerja (Raker) antara Komisi VII DPR dan Menteri ESDM Sudirman Said.(RI)