PURWAKARTA – Pembangun pabrik solar cell di dalam negeri dinilai akan mendorong pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) secara lebih massif. Apalagi sejak 2009, biaya produksi listrik PLTS telah lebih murah dibanding Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Bahkan pada 2015, biaya produksi PLTS lebih murah dibanding pembangkit gas.

“Kendala utama pengembangan PLTS adalah komponennya yang sebagian besar masih impor. Jadi akan lebih murah lagi, jika di Indonesia mempunyai pabrik kompinen pembangkit tenaga surya,” ungkap Wisrawan, General Manager Unit Pembangkitan Cirata, Sabtu (9/4).

PT PLN (Persero) melalui PT Pembangkitan Jawa-Bali mulai mengoperasikan PLTS Cirata Oktober 2015. PLTS dibangun di kawasan PLTA Cirata untuk melengkapi fasilitas Cirata Green Energy campus (C-GEn Campus) yang nantinya akan menjadi pusat studi, penelitian dan pengembangan PLTS untuk daerah yang akan dibangun PLTS. Untuk pembangunan PLTS, PLN mengeluarkan investasi Rp28 miliar.

Luas area lahan C-Gen Campus mencapai 3,5 hektar, PLTS Cirata memiliki beberapa karakteristik unik yang berbeda dengan PLTS lain. Pembangkit dengan produksi KWh per hari 4–5 MWh ini memiliki kapasitas terbesar di Jawa.

Pemerintah berkomitmen dan sedang merealisasikan penyediaan listrik sebesar 35 ribu megawatt (MW), sebesar 25% di antaranya atau sekitar 8.800 MW, diupayakan dari energi terbarukan. Pembangkit 8.800 MW tersebut akan berasal dari: energi surya sebasar 4.000 MW; energi bio, termasuk energi sampah, sebesar 1.000 MW; energi panas bumi sebesar 1.500 MW; energi air sebesar 1.800MW; dan energi angin sebesar 500 MW.(AT)