JAKARTA – Kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan baru batu bara nasional saat ini praktis berhenti. Hal ini merupakan dampak penurunan tingkat profitabilitas perusahaan-perusahaan batu bara hingga  level terendah, hingga memaksa perusahaan batu bara melakukan efisiensi, bahkan memangkas produksi.
Supriatna Sahala, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI),  mengatakan rata-rata rasio nisbah kupas (stripping ratio) industri batu bara nasional menurun dari 9,7 kali pada 2011 menjadi sekitar 7,5 kali pada 2014. Stripping ratio diestimasi masih akan turun tahun ini.

 

“Hasil survei kami kepada beberapa perusahaan tambang batu bara terbesar anggota APBI mengindikasikan penurunan cadangan batu bara sekitar 29%-40% yang disebabkan penurunan harga batu bara yang signifikan,” ungkap Supriatna.

Analisa APBI mengindikasikan jumlah cadangan batu bara nasional yang ada hanya 7,3 miliar — 8,3 miliar ton pada akhir 2015, jauh di bawah data pemerintah.

Supriatna mengatakan, perubahan rencana penambangan (mine plan) dengan menurunkan stripping ratio untuk memperbaiki profitabilitas sebagai respon atas penurunan harga batu bara akan mengurangi umur tambang dan cadangan batu bara yang dapat ditambang. Penurunan potensi cadangan batu bara yang dapat ditambang (mineable reserves) akan menurunkan penerimaan negara dari sektor batu bara.

Data pemerintah yang dirilis Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan Indonesia memiliki cadangan batu bara terbukti (proven) sekitar 32,3 miliar ton pada 2014.

Menurut Supriatna, perlunya diperhatikan indikasi penurunan tidak berdasarkan penilaian dari penilai cadangan eksternal yang independen, dan metode ini merupakan suatu penyederhanaan karena produksi beberapa tahun terakhir dimungkinkan bukan alat prediksi yang akurat untuk jumlah cadangan batu bara.

“Proyeksi awal (preliminary projection) mengindikasikan bahwa cadangan batu bara kita akan habis pada 2033-2036. Hal ini kurang dari 20 tahun umur manfaat PLTU yang termasuk dalam program kelistrikan nasional 35 GW yang pada umumnya sekitar 25-30 tahun sejak beroperasi komersial,” ungkap dia.

Jeffrey Mulyono, Presiden Direktur PT Pesona Khatulistiwa Nusantara, mengatakan perlunya modifikasi penggunaan kualitas batu bara, khususnya untuk pembangkit listrik.

“Akan ada keseimbangan suplai dan demand. Untuk energi pembangkit listrik, kalau yang kualitas 5.200 sudah habis, modifikasi ke kualitas yang 4.500. Karena 4.000-4.500 bisa dibakar dengan suatu proses sendiri. Harus ada modifikasi karena yang terbaik sudah mulai menipis,” tandas Jeffrey.(RA)