JAKARTA – Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menyatakan pelaku usaha pertambangan batu bara nasional yang juga menjadi produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) masih terkendala keterbatasan sumber pendanaan domestik untuk pembiayaan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Hal ini berpotensi meningkatnya dominasi perusahaan asing dalam proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW).

Supriatna Sahala, Direktur Eksekutif APBI, mengatakan setiap pengembangan PLTU yang menggunakan energi batu bara dengan kapasitas 1.000 MW memerlukan investasi mencapai US$ 1,3 miliar.

“Kalau PLTU 20 ribu MW, seperti arahan Pak Jokowi, itu perlu modal US$ 30 miliar. Kalau harus sediakan equity dari uang sendiri dari investor dalam negeri, berarti 30% kana tau sekitar US$ 9 miliar. Dari mana dana sebesar itu? Sisanya yang US$ 21 miliar, apakah dari investor luar atau dari negara? Ini yang jadi masalah,” ungkap Supriatna di Jakarta, Rabu.

APBI telah melakukan kajian dengan metodologi survei yang melibatkan 25 perusahaan batu bara dan juga didasarkan pada infomasi-informasi keuangan dan non-keuangan emiten batu bara yang terdaftaar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menghasilkan beberapa temuan penting.  EBITDA (Earnings Before Interest, Tax, Depreciation & Amortization) emiten batu bara, turun 60% dari US$6,5 miliar pada 2011 menjadi US$2,6 miliar pada 2014.  Pada tahun lalu, EBITDA emiten batu bara juga turun sekitar 16%.

Selain itu, belanja modal (capital expenditure) emiten batu bara turun sekitar 79% sejak 2012 dari US$19 miliar menjadi US$0,4 miliar pada 2015. Hasil survei mengindikasikan penurunan ini akan berlanjut sekitar 10%-20% pada 2016.

Menurut Supriatna, APBI sudah menyampaikan sejumlah usulan terkait kondisi yang dihadapi perusahaan batu bara nasional.  Pemerintah, lanjut dia, memiliki beberapa pilihan antara lain menerapkan sistem harga batu bara jangka panjang yang tidak terkait dengan indeks harga batu bara dunia. Dalam hal ini, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk merumuskan kebijakan costbased pricing system untuk batu bara dalam negeri guna keperluan PLTU, termasuk dalam program kelistrikan nasional 35 GW.

Sesuai analisa APBI, efek dari kebijakan tersebut adalah pemerintah akan membayar semacam biaya asuransi (cost of insurance) sekitar 1% dari tarif dasar listrik yang sebesar kurang lebih Rp 1.400/kWh jika diterapkan untuk PLTU baru yang akan beroperasi pada 2019. Sementara itu, sekitar 3% jika termasuk PLTU yang telah dibangun di tahun sebelumnya (40 GW) untuk melindungi negara dari krisis pasokan batu bara untuk PLTU, sekaligus memproteksi kenaikan harga listrik jika terjadi kenaikan harga batu bara. Dengan demikian, terjadi keseimbangan antara jaminan pasokan dan biaya.
Selain itu, perlu didorong keterlibatan dana pensiun dan perusahaan asuransi dan lambaga pemerintah lainnya sebagai sumber pendanaan domestik dalam memproteksi proyek infrastruktur termasuk pembangkit listrik. “Hal ini dapat mempercepat peningkatan tingkat elektrifikasi Indonesia dan sekaligus memperkuat industri penambangan Indonesia,” tandas Supriatna.(RA)