JAKARTA – Kejaksaan Agung diminta segera menyelesaikan kasus kerugian negara pada proyek unit penyimpanan dan regasifikasi terapung (Floating Storage and Regasification Unit/FSRU) Lampung yang dioperasikan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS).

“Tersangka atas kerugian negara dalam proyek itu mestinya sudah bisa ditetapkan. Informasi awal yang kami berikan sudah cukup jelas terhadap modusnya dan perkiraan nilai kerugian negara yang mencapai USS7 juta per bulan karena tidak beroperasi sejak dibangun,” ujar Ferdinand Hutahaean, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, Selasa.

PGN-FSRU-Lampung

Pada 25 Februari 2016, Kejaksaan Agung telah memanggil lima orang saksi dari PGN. Pemanggilan yang ditujukan ke direktur utama PGN terkait penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pembangunan FSRU Lampung tahun anggaran 2011-2014. Kelima saksi yang dipanggil Kejagung adalah Agoes Kresnowo, selaku panitia pengadaan, Tri Setyo Utomo, Assisten Manager Keuangan dan Administrasi proyek, Wahid Sutopo, Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Resiko, Eri Surya Kelana, Direktur Keuangan dan Administrasi dan Retno Kadarni selaku Ketua Panitia Pengadaan.

Menurut Ferdinand, kentalnya unsur kesengajaan yang merugikan keuangan negara sangat mudah ditelusuri dalam proyek tersebut. Apalagi nilai kerugian negara sangat besar dalam proyek tersebut, karena itu kejaksaan tidak boleh main main atas kerugian keuangan negara dalam proyek itu.

“Total kerugian mencapai Rp 1 triliun lebih dan ini kejahatan luar biasa,” kata Ferdinand.

Energy Watch Indonesia dan DPP POS RAYA Relawan Jokowi sebelumnya telah melaporkan kasus FSRU Lampung ke Kejaksaan Agung pada Mei 2015. Dalam laporannya, Energy Watch menyebut adanya kerugian negara karena tidak adanya manajemen risiko dalam pembangunan FSRU Lampung senilai US$250 juta.

FSRU yang dibangun Konsorsium Hoegh asal Norwegia dan PT Rekayasa Indusrti (Rekin) disewa PGN senilai US$ 300 juta selama 20 tahun. FSRU yang selesai dibangun pada April 2014. Namun sejak dioperasikan PGN sejak awal 2015, FSRU Lampung justru tidak bisa mengalirkan gasnya. Pasalnya, PT PLN (Persero) tidak mau menyerap gas dari FSRU Lampung karena tidak ada kesepakatan harga.

Meski tidak menghasilkan pendapatan karena tidak bisa mengalirkan gas, PGN harus terus membayar biaya sewa dan operasional meskipun tidak ada pemasukan. Selain itu, investasi menara sandar kapal yang mencapai US$ 100 juta dan pembangunan jaringan pipa offshore (lepas pantai) sepanjang 30-50 kilometer dari FSRU Lampung ke jaringan transmisi Sumatera Selatan-Jawa Barat dan fasilitas off take (penjualan) pendukung lainnya sebesar US$150 juta.(RA)