JAKARTA – PT Pertamina (Persero) hingga kini tercatat sebagai satu-satunya perusahaan energi di Indonesia yang menguasai mata rantai bisnis gas secara terintegrasi.  Bisnis gas Pertamina ke depan juga akan lebih dominan dibandingkan dengan kondisi saat ini, terutama untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik dan industri.

Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina, menjelaskan bisnis gas yang dijalankan Pertamina saat ini tak lepas dari kontribusi empat anak usaha di sektor eksplorasi dan produksi, yaitu PT Pertamina EP (PEP), PT Pertamina Hulu Energi (PHE), PT Pertamina EP Cepu (PEPC, dan  PT Pertamina Internasional EP (PIEP). “Dari tiga anak usaha di dalam negeri saja, Pertamina memproduksi gas sebanyak 1,63 miliar kaki kubik per hari,” ujar Wianda.

Mata rantai Gas Pertamina (Revisi)

Gas yang diproduksi anak usaha Pertamina ada yang langsung disalurkan melalui pipa oleh PT Pertamina Gas (Pertagas), anak usaha Pertamina di sektor distribusi dan transmisi gas, ke konsumen. Menurut Wianda, jaringan pipa transmisi open acces Pertamina saat ini mencapai 2.200 kilometer. “Dengan sistem open access, semua jaringan pipa perseroan bisa digunakan oleh siapa pun,” katanya.

Selain itu, tambah Wianda, gas yang diproduksi oleh PEP, PHE, dan PEPC diolah menjadi gas alam cair (LNG) melalui PT Badak NGL di Bontang, Kalimantan Timur dan PT Donggi Senoro LNG di Banggai, Sulawesi Tengah. LNG dari  dua kilang tersebut dan LNG impor kemudian dikapalkan oleh  armada kapal milik Pertamina Shipping untuk diolah menjadi regasifikasi LNG oleh PT Nusantara Regas yang 65% sahamnya dikuasai perusahaan dan PT Petra Arun Gas.  Hasil regasifikasi LNG kemudian dikirim ke sejumlah konsumen. Gas yang diproduksi dari hulu juga ada yang diproses di PT Perta Samtan Gas untuk kemudian dipasok sejumlah LPG Plant yang ada di beberapa lokasi seperti Pondok Tengah, Bekasi; Mundu, Indramayu; serta Prabumulih dan Palembang, Sumatera Selatan. “Ada juga pasokan gas dari hulu yang langsung ke konsumen seperti untuk PGN (PT Perusahaan Gas Negara Tbk), pupuk, PLN, industri, jaringan gas, dan transportasi melalui jaringan pipa,” katanya.

Wianda menjelaskan, selama 10 tahun terakhir Pertamina mengeluarkan dana sekitar US$ 3,68 miliar atau setara Rp 48,9 triliun untuk pengembangan infrastruktur gas di level mid-downstream. Dana tersebut digunakan untuk investasi pada liquefaction sebesar US$ 2 miliar dengan total kapasitas terpasang 260 juta kaki kubik per hari (MMSCFD), pipa gas sebesar US$ 1,2 miliar dengan kapasitas 950 MMSCFD, dan regasifikasi LNG senilai US$ 485 juta dengan kapasitas 900 MMSCFD.

Menurut Wianda, perluasan jaringan infrastruktur gas sangat diperlukan karena Pertamina bertekad menjadi pilar utama dalam mewujudkan kemandirian energi nasional. Pertumbuhan sektor industri seiring laju pertumbuhan ekonomi nasional, serta sektor rumah tangga dan transportasi juga menjadi faktor penting bagi peningkatan permintaan gas nasional. “Dengan penguasaan infrastruktur gas Pertamina yang terus berkembang, kami bisa memegang peranan penting karena Pertamina bisa menyerap pasokan dari multisources. Kami pun bisa memasok gas di banyak titik permintaan yang di sana infrastruktur kami telah tersedia,” tandasnya. (AT)