JAKARTA-  PT Pertamina (Persero) tahun ini akan kedatangan delapan kapal tanker tipe GP dengan bobotmati 17.500 DWT yang dipesan dari mitranya di dalam negeri senilai US$ 200 juta atau sekitar Rp 2,66 triliun.  Kapal tersebut dipesan dari perusahaan galangan kapal nasional sebagai komitmen Pertamina untuk memberdayakan industri galangan kapal nasional.

Kedelapan proyek tersebut meliputi MT Parigi dan MT Pattimura oleh PTAngrek Hitam Shipyard, MT Panderman, MT Papandayan, dan MT Putri oleh PT DayaRadar Utama, serta MT Pasaman, MT Panjang, dan MT Pangrango oleh PT Multi OceanShipyard.

Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina,mengatakan Pertamina selalu memberikan tantangan kepada industri dalam negeribaik dalam hal besaran kapal maupun standard kapal. Galangan kapal nasionalharus bisa membangun kapal berstandar Internasional yang dapat diterimaberlayar ke negara manapun di dunia.  “Kapal tanker Pertamina juga dituntut untuk ramah lingkungan dan tingkat safety tinggi dan taat terhadapketentuan-ketentuan Internasional lainnya,” kata Wianda dalam siaran pers di Jakarta, Minggu (28/2).

Hingga akhir 2016, Pertamina akan memiliki sekitar 72 unit kapal yang berstatus miliksendiri. Sebanyak 34 kapal atau 47% merupakan kapal yang diproduksi oleh galangan kapal nasional. “Pertamina melalui rencana jangka panjang penguatan armada milik berkomitmen tinggi untukmengedepankan kerja sama dengan mitra nasional sebagai pembangun kapal yang dibutuhkan perusahaan,” katanya.

Saat ini, kapal milik terbesar yang diproduksi galangan kapal nasionalberukuran 30.000 DWT, yaitu MT Fastron yang dibangun oleh PT PAL. Kapal dengan ukuran sebesar itu dipercayakan pembangunannya setelah sukses membangun kapal sekelas di bawahnya.

Pertamina juga memberikan  kepercayaan kepada galangan kapal lainnya,seperti PT Daya Radar Utama (DRU). Setelah sukses membangun MT Musi berbobot 3.500DWT dengan panjang kapal 90 meter, terbesar yang pernah mereka buat saat itu, Pertamina memberikan tantangan lepada DRU membuat tiga kapal 17.500 DWT yang panjangnya 157 meter, lebar 28 meter dan tinggi 12 meter.  “Kami juga meminta DRU dan juga galangan kapal lain agar bisa membangun dengan kualitas yang sama dengan kapal produksi Korea Selatan. Dan terbukti berhasil sejauh ini,” katanya.

Pertamina juga menantang industri pendukung galangan kapal untuk lebih bisaberkembang sehingga kandungan lokal kapal dapat terus ditingkatkan. Saat ini,kandungan lokal untuk kapal-kapal tanker buatan dalam negeri umumnya sekitar 30-35%.

Business Development Director PT Daya Radar Utama Steven Angga Prana mengakui besarnya peran Pertamina untuk membangun kapasitas dan kemampuan galangan kapal dalam negeri. Kesuksesan membangun MT Musi pada 2012 memicu banyaknya order kapal-kapal besar dan modern kepada perusahaannya, termasuk KRI Bintuni milik TNI AL. “Kami sangat mengapresiasi Pertamina yang berani memberikan orderkepada galangan nasional. Semula kami hanya memproduksi kapal-kapal konvensional dan tidak hightech, dengan supervisi Pertamina yang telahberpengalaman membangun kapal di luar negeri, sekarang kami mampu dengan proses modern dan alat otomatis. Tanpa order Pertamina, galangan kapal mungkin tidur semua dan tidak ada transfer teknologi,” kata Steven.

Steven mengatakan untuk menyelesaikan kapal berukuran 17.500 DWT umumnyamemerlukan waktu 24 bulan. Dengan tiga kapal yang diorder Pertamina, Daya Radar Utama mempekerjakan sekitar 1.500 orang tenaga kerja. “Kami optimistis dapat berkembang dan Daya Radar Utama yang memiliki luas lahan 40 ha dan garis pantai sekitar 600 meter ke depan akan mengembangkan galangan yang mampu membangun kapal tanker dengan kapasitas 100.000 DWT,”ungkap Steven.

Ibrahim Hasyim, pengamat perkapalan, mengapresiasi kebijakan Pertamina yang mendukung pengembangan galangan kapal dalam negeri dengan memesan kapal tanker dari perusahaan perkapalan nasional. Kebijakan ini sudah dimulai pada era 90-an saat Pertamina melakukan pemesanan kapal tanker dengan sistim bire boat high purchase (BBHP),  dengan tujuan agar kapal pesanan Pertamina yang dibangun perusahaan nasional  di galangan nasional dan luarnegeri, setelah selesai disewa Pertamina, akan menjadi aset perusahaanpelayaran.

Sistem BBHP ini terbukti telah bisa menjadikan dan menghidupkan beberapa perusahaan pelayaran nasional. Kemudian setelah itu, padaera 2000-an Pertamina mendorong pula bisnis perkapalan dengan menghidupkembangkan galangan nasional.  “Pertamina membangun sejumlah kapal tidak lagi dengan sistim BBHP, tapi memisahkan tender financing dengan konstruksi, dengan tujuan ada proses belajar mengenai soal financing dan konstruksi, tidak lagi dalam satu paket terima jadi. Tujuan utama untuk memberi pengalaman yang luas kepadasumber daya manusia dan galangan nasional,” ujarnya.

Dengancara itu, menurut Ibrahim, Pertamina pernah membangun kapal  super tankerVLCC  280.000 DWT  di galangan Hunday Korea Selatan, yang kemudian dijual sebelum dipakai. Ibrahim mengatakan banyak manfaat intangible yang diperoleh kala itu, SDM dan perguruan tinggi punya kesempatan belajar dan mengerjakan beberapa kegiatan review engineering, yang tidak mungkin bisa diperoleh tanpa membangun sendiri kapal VLCC tersebut.

Jika diamati secara cermat perkembangan pembangunan infrastruktur kapal tanker selama ini, menurut Ibrahim, hanya Pertamina yang terus membangun secara berkelangsungan, sesuai roadmap yang telah dibuat di awal 2000-an dengan tujuan untuk meremajakan kapal-kapal tua dan bertahap memperbesar tanker armada milik dalam rangka membangun daya saing dan bargaining position Pertamina. Pasalnya, sampai saat ini porsi armada milik masih lebih kecil dari yang disewa.  “Karena itu kepedulian Pertamina dalam membangun tanker dalamnegeri, yang berarti turut mendukung pembangunan infrastruktur maritim,haruslah diancungi jempol. Dengan cara itu, berarti telah ikut membangun kemampuan galangan nasional dan dengan pengalaman bertahap yang telah ada itu, tentu bisa menjadi modal kuat untuk membuat kapal yang bobotnya lebih besar lagi,” katanya.(RA)