JAKARTA – Pembentukan perusahaan induk (holding company) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di  sektor energi akibat tarik menarik kepentingan di antara perusahaan BUMN terkait sektor tersebut. PT Pertamina (Persero) disarankan menjadi perusahaan induk (holding company) BUMN energi karena perusahaan menguasai hulu-hilir sektor energi.

“Lupakan joint committee, lebih baik bentuk holding BUMN  energi. Kalau diholdingkan, tidak ada lagi masalah antara Pertamina dan  PGN (PT Perusahaan Gas Negara Persero Tbk),” ujar  Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Petrokimia Achmad Widjaja pada diskusi Energy and Mining Editor Society (E2S) di Jakarta, Rabu (10/2).
Menurut Achmad, investor publik PGN diyakini akan senang dengan penggabungan perusahaan itu dengan Pertamina yang menguasai sektor hulu hingga hilir migas. Opsi pembentukan joint committee sebagai payung sinergi antara Pertagas dan PGN sebelumnya dianggap sebagai solusi termudah untuk mengatasi tumpang tindih pembangunan pipa dan penyaluran gas. Melalui joint committee, PT Pertagas (anak usaha Pertamina)  dan PGN menempatkan perwakilan pada level senior manager. Keduanya lantas bekerja sama memanfaatkan pipa–pipa distribusi dan transmisi, termasuk menetapkan area operasi yang dapat dikerjasamakan.

Joint committee juga sejalan dengan perintah sinergi dari Kementerian BUMN. Selain itu, pemanfaatan pipa gas sebenarnya juga sejalan dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 19 pasal 13 dan PP 36 pasal 31 tentang pemanfaatan fasilitas pipa gas bersama.

Firlie Ganinduto, Wakil Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia Bidang Regulasi dan Kelembagaan Migas, menambahkan potensi permasalahan akan banyak timbul ke depan, jika holding BUMN energi tidak segera direalisasikan. PGN, lanjut dia, memiliki anak usaha PT Saka Energi Indonesia yang bergerak di sektor hulu migas. Selain itu, PGN juga memiliki PT Gagas Energi Indonesia  yang bergerak di sektor niaga gas.

“Jadi PGN juga mereprensentasikan Pertamina. Bukan tidak mungkin PGN ikut membangun power plant,” tukas dia.

Di sisi lain, Pertamina juga memiliki anak usaha yang bergerak di sektor gas, Pertagas. Bahkan, Pertamina melalui PT Pertamina Geothermal Energy berencana untuk menjual langsung listrik yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang dikelolanya ke sektor industri.

“Kita lihat nanti bagaimana jika BUMN besar ini akan bersaing, jika pemerintah melalui Kementerian BUMN tidak menjadi wasit.
Jadi holding ini punya urgensi yang tinggi hntuk menyelesaikan masalah di sektor energi,” ungkap dia.

Naryanto Wagimin, Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Kementerian ESDM, mengatakan Kementerian BUMN memang pernah menyinggung soal rencana pembentukan holding BUMN khususnya di sektor migas. “Tapi sekarang tidak pernah dibahas lagi,” tukas dia.

Open Access


Firlie mengatakan open access sebenarnya wajib dilakukan untuk memaksimalkan infrastruktur. Sedangkan toll fee digunakan untuk mengembalikan investasi pembangunan pipa. “Jadi kalau infrastruktur pipa bisa di-sharing tentu harga gas bisa diturunkan,” ungkap dia

Naryanto menegaskan PGN hingga saat ini memang tidak mau melaksanakan open access. “Sampai sekarang memang seperti itu. Untuk itu, Permen  No 37 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan ALokasi dan Pemanfaatan serta Harg Gas Bumi akan direvisi,” kata dia.

Naryanto mengakui hingga saat ini belum ada keberpihakan terhadap alokasi gas domestik. Pasalnya, Satuan Kerja Khusus Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) selalu meminta harga gas maksimal. Inilah yang menjadi masalah dalam pengalokasian gas nasional, khususnya terhadap gas yang tidak terserap di pasar ekspor.

“Pada tahun-tahun ke depan ada sekitar 40 kargo yang tidak terserap. Ini yang diharapkan diserap domestik. Hanya masalahnya lagi-lagi pada harga jual,” kata dia.

Achmad mempertanyakan paket kebijakan ekonomi ketiga yang digulirkan pemerintah pada Oktober 2015 yang salah satunya berupa penurunan harga gas industri hingga US$2 per MMBTU yang hingga saat ini belum direalisasikan.

“Kami meminta harga gas industri US$6 per MMBTU karena biaya produksi KKKS rata-rata US$ 5 per MMBTU. Masalahnya kenapa toll  fee-nya lebih dari US$ 2, sehingga sekarang kita harus beli gas dari PGN hingga US$10 per MMBTU,” tegas dia.(AT)