JAKARTA – PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) menyepakati harga uap panas bumi dari PT Pertamina Geothermal Energy untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang 1, 2, 3 dengan total kapasitas 140 megawatt (MW) yang dioperasikan PT Indonesia Power, anak usaha PLN.

Yunus Saefulhak,  Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan kesepakatan harga jual antara Pertamina dengan PLN diharapkan semakin menggairahkan iklim investasi pengembangan energi baru terbarukan, khususnya panas bumi.

“Yang jelas, untuk interim agreement PLTP Kamojang dan Lahendong sudah selesai,” kata dia, Jumat.

Menurut Yunus, harga keekonomian energi uap panas bumi cenderung berbeda dengan bahan bakar minyak jenis solar maupun batu bara. Dengan demikian, perlu perhitungan khusus dalam menetapkan harga jual uap panas bumi.

“Harga keekonomian EBT khususnya panas bumi itu punya harga ala panas bumi. Uap panas bumi tidak bisa dibandingkan dengan harga batu bara. Harga keekonomian yang wajar mungkin sekitar US$ 6 sen/KwH,” kata dia.

Sudirman Said, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebelumnya mengkritik PLN karena tidak menggunakan sudut pandang pengembangan EBT yang sudah menjadi kebijakan pemerintah.

“PLN perlu mengubah attitude (sikap) dan cara pandang,” katanya usai bertemu Wakil Presiden,  Jusuf Kalla, Kamis.

Menurut Sudirman, pengembangan EBT sudah masuk dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) maupun komitmen pemerintahan Jokowi – JK. Selain itu, payung hukum atau regulasi penentuan harga jual uap panas bumi juga sudah jelas, sehingga PLN mestinya tinggal mengikuti regulasi yang ada saja, bukan mengkritisi atau memprotes.

“Kalau sikap PLN seperti ini, bisa membahayakan pengembangan EBT,” ujarnya.

Kementerian BUMN juga tidak mau masalah itu terus berlanjut. Menteri BUMN Rini Soemarno langsung memediasi PLN dan Pertamina. Dalam rapat tersebut PLN telah menyepakati harga beli listrik panas bumi.

“Harganya US $ 6 sen/kWh,” tukas Edwin Hidayat Abdullah, Deputi BUMN Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan, dan Pariwisata,.

PLN sebelumnya sempat ngotot dengan meminta harga jual dari energi baru terbarukan seperti uap panas bumi dengan murah. Hal ini tentunya akan menjadi preseden buruk bagi pengembangan EBT.  Padahal, pemerintah Indonesia saat ini sedang menggenjot pengembangan EBT untuk mengurangi penggunaan energi fosil dan  menjanjikan  memberikan insentif khusus.(RA)