JAKARTA – Pemanfaatan uap panas bumi sebagai energi baru dan terbarukan menemui hambatan serius menyusul sulitnya pengembang untuk dapat menikmati harga jual yang wajar untuk kelanjutan investasi.

PT Pertamina (Persero), melalui anak perusahaan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), berpotensi harus menghentikan pasokan uap untuk PLTP Kamojang 1, 2, dan 3 milik PT PLN (Persero) yang dikelola oleh PT Indonesia Power dengan total kapasitas pembangkitan 140 MW menyusul tidak adanya kesepakatan harga panas bumi di antara kedua perusahaan.

Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro mengatakan negosiasi antara Pertamina dan PLN mengalami kebuntuan mengenai harga jual uap untuk ketiga pembangkit tersebut. Menurut dia, Pertamina telah menawarkan agar kedua perusahaan dapat kembali memperpanjang interim agreement harga jual uap sambil melakukan negosiasi harga sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini.

“Namun, tidak ada kesepakatan yang dicapai kendati  Pertamina telah memberikan penawaran paling lunak dengan perpanjangan interim agreement dan PLN melalui suratnya 29 Desember 2015 justru menyampaikan permintaan kepada Pertamina untuk menutup sumur-sumur uap untuk PLTP Kamojang 1,2, dan 3. Kami telah menyampaikan kepada PLN untuk dapat kembali kepada interim agreement hingga akhir Januari 2016,” kata Wianda.

Akan tetapi, lanjutnya, apabila hingga waktu yang diberikan tersebut PLN belum memberikan respons yang layak, maka per 1 Februari 2016, Pertamina terpaksa harus menghentikan pasokan uap panas bumi untuk pembangkit PLN. “Tentu saja hal ini sangat disayangkan apabila harus terjadi karena dapat menjadi preseden buruk bagi upaya memacu pengembangan panas bumi dan energi baru terbarukan di Indonesia.”

Wianda menegaskan Pertamina selalu berkomitmen mendukung pemerintah dalam penyediaan listrik yang efisien dan ramah lingkungan melalui pengembangan uap panas bumi maupun total project beserta pembangkit listrik panas bumi.  Sebagai wujud komitmen nyata tersebut, Pertamina kini menggarap sebanyak 11 proyek panas bumi di tujuh wilayah kerja terpisah dengan investasi sekitar US$2,5 miliar hingga 2019.

“Dalam melaksanakan setiap lini bisnisnya, termasuk dalam bisnis panas bumi, Pertamina senantiasa mengutamakan kepentingan nasional. Panas bumi yang merupakan sumber energi baru dan terbarukan dapat mendukung implementasi komitmen pemerintah dalam Conference of Parties (COP) 21 untuk mengurangi emisi hingga 29%,” katanya.

Dalam COP 21 Paris, Presiden Joko Widodo menyatakan kesanggupan Indonesia menurunkan emisi sebesar 29% pada tahun 2030. Menurut Presiden, penurunan emisi dilakukan dengan mengambil beberapa langkah di berbagai bidang, di mana untuk bidang energi dilakukan dengan pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif dan peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23% dari konsumsi energi nasional pada 2025.

“Namun, harga yang wajar tetaplah diperlukan terutama untuk memastikan keberlanjutan investasi panas bumi, apalagi gap antara kapasitas terpasang dan target bauran energi dari panas bumi masih sangat lebar. Apabila harga yang ditetapkan wajar, kami yakin tidak hanya Pertamina yang bisa bergerak cepat seperti saat ini, namun investor lainnya pun siap berinvestasi panas bumi,” tandas Wianda.(RA)