Proyek Pengembangan Paku Gajah merupakan salah satu proyek hulu migas yang beroperasi pada 2017.

JAKARTA – Realisasi investasi hulu minyak dan gas pada 2017 hanya mencapai 80% dari target yang dicanangkan. Data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) menunjukkan  realisasi per 31 Desember 2017 total investasi sektor hulu migas sebesar US$ 9,33 miliar. Padahal target yang dicanangkan dalam Work Plan and Budget revisi 2017 adalah US$12,29 miliar.

“Dari realiasasi investasi itu dibagi lagi untuk investasi eksploitasi US$ 9,15 miliar dan eksplorasi US$ 0,18 miliar,” kata Amien Sunaryadhi, Kepala SKK Migas dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (5/1).

Dia mengakui realisasi investasi terbilang cukup rendah, terutama untuk investasi eksplorasi. Dalam WP&B target investasi eksplorasi adalah US$ 0,87 miliar dan yang realiasi hanya US$ 0,18 miliar. Rendahnya investasi eksplorasi salah satunya disebabkan kondisi keuangan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

“Mesti realistis. Dari sekian banyak WK eksplorasi, mayoritas ternyata KKKS kelas dhuafa, jadi kalau diharapkan investasinya besar ya susah juga,” papar Amien.

Hingga sekarang dari 255 WK migas yang tercatat sebanyak 87 WK merupakan WK eksploitasi dan 119 WK eksplorasi. Meski begitu, SKK Migas berupaya untuk membantu KKKS yang memiliki komitmen tinggi dalam berinvestasi.

Amien mencontohkan jika ada KKKS yang sudah masuk waktu habis masa kontrak maka SKK Migas akan mendorong perpanjangan kontrak. Ini agar KKKS tersebut segera melanjutkan eksplorasinya.

“Misalnya mereka betul-betul sudah menunjukkan proses pengadaan rig, kemudian juga menunjukkan kesediaan dana, nah ini dibantu perpanjangan supaya uang untuk eksplorasinya bisa direalisasikan. Ini dibantu SKK Migas,” ungkap Amien.

Sukandar, Wakil Kepala SKK Migas, mengatakan masih lesunya investasi pada tahun lalu masih terdampak akan harga minyak dunia. Pada awal tahun harga minyak dunia belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Perbaikan terhadap harga minyak baru dirasakan menjelang pergantian tahun ini, karena itu tidak terlalu berdampak pada investasi yang dilakukan para pelaku usaha.

“Hari ini harga minyak WTI sudah kira-kira US$60 per barel. Bagi investor ini upside. Jadi tentu spending money untuk eksplorasi sangat tergantung dengan harga minyak,” kata dia.

Sukandar mengatakan jika harga minyak bertahan dalam posisi dikisaran US$ 60-an per barel maka diyakini investasi pada tahun ini akan kembali merangkak naik.

Saat harga minyak turun otomatis unit biaya sewa rig juga akan turun. Kondisi ini tentu berbeda ketika harga minyak sedang tinggi, sehingga biaya (investasi) yang dikeluarkan juga lebih besar.

“Ini juga pengaruh (terhadap investasi). Saya dengar juga sewa rig itu turun sampai separuh saat harga minyak lagi rendah. Jadi pekerjaannya sama, tapi dolar AS yang dikeluarkan lebih sedikit,” kata Sukandar.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, mengatakan penurunan investasi bukan semata-mata disebabkan kurang berminatnya para pelaku usaha dalam menggelontorkan dana investasi akan tetapi juga ada upaya efisiensi yang dilakukan saat pengerjaan proyek, namun tetap tidak menurunkan output yang dicapai. Hal itu yang menyebabkan terkadang realisasi investasi tidak mencapai target yang dicanangkan.

“Namanya cost berarti kan investasi, ini kan kami tekan untuk efisiensi tapi dengan output yang sama dengan cost tanpa ditekan, harus dilihat juga dari sisi itu,” kata dia.

Menurut Arcandra, salah satu kasus adalah dalam pengerjaan proyek Jambaran Tiung Biru. Pada awalnya proyek tersebut diperkirakan akan menelan dana lebih dari US$ 2 miliar, namun mampu diefisiensikan sehingga investasinya menjadi hanya sekitar US$ 1,5 miliar.

“Di JTB efisiensi berjalan tapi hasilnya produksi gas kan tetap sama saat investasi masih US$ 2 miliar,” tandas Arcandra.(RI)