BNI menjadi pionir keterlibatan perbankan nasional di industri hulu migas.

JAKARTA – Peran perbankan nasional dalam mendukung industri hulu minyak dan gas bumi (migas) terus meningkat. Nilai  transaksi pembayaran melalui Bank BUMN/ BUMD sejak 2009 sampai dengan Maret 2013 tercatat mencapai US$26,678 miliar atau sekitar Rp240 triliun. Sementara nilai transaksi tahunan pada 2012 meningkat 135% dibandingkan nilai transaksi pada 2009.

Selain itu, penempatan dana abandontment and site restoration (ASR) di Bank Pemerintah telah mencapai US$ 355 Juta atau sekitar Rp3,2 triliun, dimana jumlah ini adalah peningkatan sebesar 165% dibandingkan tahun 2009.  

Kewajiban industri hulu migas untuk menggunakan perbankan nasional dalam transaksinya dan tempat menampung dana ASR dimulai tahun 2009. Sebelumnya selama puluhan tahun yang lalu hal tersebut tidak pernah dilakukan.

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini mengatakan, hal tersebut menunjukkan semangat nasionalisme mulai tumbuh dalam beberapa tahun terakhir sejak peran regulator dan player (pelaku usaha langsung, red) dipisahkan dalam pengelolaan industri hulu migas di Indonesia.

“Tahun 2013 ini kita berhasil meningkatkan keterlibatan perbankan nasional dalam kegiatan yang lebih besar lagi, yaitu ketika BNI berhasil menjadi pionir bank pemerintah pertama yang memasuki bisnis jasa Trustee & Paying Agent untuk kontrak penjualan LNG dari Blok Mahakam PSC,” kata Rudi dalam peluncuran buku terbaru ReforMiner Institute di Jakarta, Kamis, 18 April 2013.  

Buku itu sendiri berjudul “Migas, Perbankan dan Perekonomian Nasional; Sinergisitas Hulu Migas dan Perbankan Nasional”. Dalam kesempatan itu, Rudi pun menyampaikan harapannya agar apa yang sudah dilakukan BNI, dapat diikuti perbankan nasional lainnya. “Harapan saya cukup tinggi karena saya melihat keseriusan perbankan nasional untuk menggarap peluang ini,” tukas Rudi.

Kebutuhan Mencapai Rp 200 Triliun

Pada kesempatan tersebut, Kepala SKK Migas memberikan apresiasi khusus kepada BRI sebagai pionir bank pemerintah pertama yang telah memberi kekhususan kepada industri migas dengan membentuk Divisi Bisnis Umum dan Migas.

Dalam bukunya, ReforMiner Insitute menulis peluang untuk mensinergikan hulu migas dan perbankan nasional masih cukup terbuka. Kebutuhan investasi (cost recovery) hulu migas nasional setiap tahunnya tercatat antara Rp 150 – Rp 200 triliun.

Sedangkan penghimpunan DPK oleh perbankan nasional yang belum tersalurkan menjadi kredit masih sekitar Rp 570,75 triliun. Sehingga peningkatan penyaluran kredit oleh perbankan ke sektor hulu migas tentunya tidak akan mengurangi porsi penyaluran kredit ke sektor-sektor ekonomi yang lainnya.

Selain itu, struktur modal perusahaan migas (khususnya perusahaan migas nasional) yang sebagian besar bersumber dari utang –termasuk 42,83 % diantaranya merupakan hutang bank–  mengindikasikan peluang sinergisitas antara kedua sektor masih cukup terbuka.

Disebutkan pula dalam buku itu, sinergisitas hulu migas dan perbankan nasional berpotenasi memberikan manfaat ekonomi yang signifikan terhadap perekonomian nasional. Produktivitas penyaluran kredit ke sektor hulu migas mencapai 6.630 kali- lebih besar dari rata-rata penyaluran kredit ke seluruh sektor ekonomi yang sebesar 4.942 kali.

Penyaluran kredit ke sektor hulu migas sebesar Rp 1 miliar akan menciptakan nilai tambah perekonomian nasional sebesar Rp 6,63 triliun. Sedangkan penyaluran kredit ke seluruh sektor ekonomi rata-rata akan menciptakan nilai tambah perekonomian nasional sebesar Rp 4,94 triliun.

(Abdul Hamid/duniaenergi@yahoo.co.id)