JAKARTA – Rencana perubahan skema kontrak minyak dan gas yang tengah dikaji Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ditargetkan bisa rampung pada Januari 2017. Rencananya, skema baru ini akan diterapkan ke kontrak yang baru. Artinya tidak akan berlaku surut atau menyasar ke kontrak yang telah berjalan.

“Ditargetkan kajian selesai Januari 2017. Nanti aturannya dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen) ESDM,” kata Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM di Jakarta, Jumat (9/12).

Skema gross split yang saat ini dikaji diharapkan bisa diaplikasi dan diterima dengan baik investor. Skema gross split diyakini akan mempecepat proses kontrak kerja sama migas dengan kontraktor. Selain itu juga solusi untuk menekan dana yang dialokasikan setiap tahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk penggantian biaya operasi hulu migas (cost recovery).

Cost recovery sebagai konsekuensi dari penerapan sistem produksi bagi hasil (production sharing contract/PSC) yang diterapkan pemerintah Indonesia memang menjadi salah satu isu krusial dalam pengelolaan migas selama bertahun-tahun. Perdebatan panjang kerap terjadi dalam pembahasan besaran cost recovery yang harus digelontorkan negara sebagai biaya pengganti dari produksi migas.

Untuk tahun ini saja pemerintah telah menganggarkan anggaran cost recovery sebesar US$8,5 miliar dalam APBN Perubahan 2016. Angka ini kemudian meningkat US$10,4 miliar pada 2017.

Dengan mekanisme gross split potensi kerugian pemerintah dari perhitungan cost recovery diharapkan bisa ditekan karena perhitungan bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah dilakukan saat awal pembahasan kontrak. Sementara skema PSC, negara akan mengganti biaya operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor. Namun, penggantian hanya dilakukan setelah cadangan migas yang ekonomis ditemukan.

Penggantian pun tidak dilakukan dalam bentuk dana, tetapi dari sebagian produksi migas (in kind) yang dihasilkan. Artinya, penggantian biaya hanya dilakukan selama satu wilayah kerja menghasilkan migas

Meskipun perhitungan dilakukan pada awal kegiatan operasi, pemerintah tetap memastikan penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tetap menjadi prioritas. Hal itu diharapkan bisa membantu industri dalam negeri dalam meningkatkan kompetensinya di sektor migas.

“Yang jelas gross split tetap akan perhatikan optimalisasi komponen dalam negeri,” kata Arcandra.

Sujatmiko, Kepala Komunikasi Publik dan Layanan Kerjasama Kementerian ESDM menyatakan selain dilakukan kajian internal, pemerintah juga aktif mengajak pelaku usaha yang tergabung dalam Indonesian Petroleum Association (IPA) untuk dimintai respon dan masukan guna menghasilkan aturan yang bisa diterima dengan baik oleh seluruh pihak.

“Kami ajak diskusi IPA, dan mereka diberi waktu sekitar satu minggu untuk bisa memberikan responnya,” tandas Sujatmiko.(RI)